Kembali pada dermaga
Satu kapal masih berlabuh
Kapal besar dengan rambut hitam di atasnya
Datang lagi kapal lain
Kali ini tidaklah lebih besar
Hanya lebih bersih
Iya bertopi
Dermaga itu terlalu kecil untuk dilabuh dua
Kedua tak mau kalah
Mereka berebut
Dermaga pecah, siapa salah?
Rabu, 03 Desember 2014
Jumat, 14 November 2014
Menulis Surat
Aku lelah menulis surat
Kertas sudah menjadi tua dan tak sanggup menerima kucuran darah si pena.
Aku lelah menulis surat.
Jari sudah kering mengkerut hingga tak sanggup untuk lagi membuat kata.
Aku lelah menulis surat.
Otak ku sudah beku, tak tau kata lain selain rindu dan bukan hak-ku.
Aku sangat lelah menulis surat.
Bukan apa, surat ku tak pernah kau balas.
Aku lelah menunggu
Ini bukan soal tulisan di atas kertas
Kertas sudah menjadi tua dan tak sanggup menerima kucuran darah si pena.
Aku lelah menulis surat.
Jari sudah kering mengkerut hingga tak sanggup untuk lagi membuat kata.
Aku lelah menulis surat.
Otak ku sudah beku, tak tau kata lain selain rindu dan bukan hak-ku.
Aku sangat lelah menulis surat.
Bukan apa, surat ku tak pernah kau balas.
Aku lelah menunggu
Ini bukan soal tulisan di atas kertas
Jumat, 07 November 2014
Tak Lagi
Masih berbau amis sehabis deras barusan
Bukan darah, bukan tangisan. Ini lukisan!
Masih samar, masih berkabut awan
Entah mawar, entah lainnya, tak ada kepastian
Tanah masih berlumpur setelah lama tak diguyur
Entah menghisap entah tidak, semua sama lumpur
Tak mau main air lagi, tak mau diguyur
Tak mau amis dan injak lumpur
Bukan darah, bukan tangisan. Ini lukisan!
Masih samar, masih berkabut awan
Entah mawar, entah lainnya, tak ada kepastian
Tanah masih berlumpur setelah lama tak diguyur
Entah menghisap entah tidak, semua sama lumpur
Tak mau main air lagi, tak mau diguyur
Tak mau amis dan injak lumpur
Jumat, 24 Oktober 2014
5 Bait Haiku
Dia perempuan!
Cantik berkacamata
Bercincin, sial!
Aku kalahkah?
Buatkan aku celah!
Kau ku rebah!
Dia perempuan
Cantik berambut pirang
Gingsul sepasang.
Ku jatuh hati,
Dia tak kunjung ganti
Tetap kagumi
Aku terpatri
Hilang kendali diri
Dirimu pergi
Cantik berkacamata
Bercincin, sial!
Aku kalahkah?
Buatkan aku celah!
Kau ku rebah!
Dia perempuan
Cantik berambut pirang
Gingsul sepasang.
Ku jatuh hati,
Dia tak kunjung ganti
Tetap kagumi
Aku terpatri
Hilang kendali diri
Dirimu pergi
Selasa, 14 Oktober 2014
Sedikit Soal Cinta
Cinta itu seperti sebuah karet gelang yang digunakan untuk menyatukan dua barang. Karet itu harus tetap kuat, agar tak ada barang yang terlepas. Tapi terkadang saat diikat terlalu kuat pada barang yang lunak, maka barang yang lunak itu akan tergores oleh karet. Tapi terkadang pula saat karet diikatkan pada barang yang keras, justru akan mengikis karet itu sendiri. Membuatnya rapuh dan mudah putus.
***
Lain halnya dengan karet yang sudah diikatkan pada dua barang dengan tepat, yang kemudian ada barang lain yang mengikatkan dirinya dengan salah satu barang pertama. Tidak ada barang yang mampu diikat dua karet, seharusnya itu akan menghancurkannya. Maka barang yang terikat dua itu harus melepas satu karetnya, agar tak ada yang terluka katanya.
***
Dan sekarang, aku sebagai penulis, dan juga sebagai barang yang dilepaskan dari karetku. Aku akan mengikatkan diriku sendiri di sini. Menunggu kemustahilan bahwa kau akan kembali terikat bersamaku.
***
Lain halnya dengan karet yang sudah diikatkan pada dua barang dengan tepat, yang kemudian ada barang lain yang mengikatkan dirinya dengan salah satu barang pertama. Tidak ada barang yang mampu diikat dua karet, seharusnya itu akan menghancurkannya. Maka barang yang terikat dua itu harus melepas satu karetnya, agar tak ada yang terluka katanya.
***
Dan sekarang, aku sebagai penulis, dan juga sebagai barang yang dilepaskan dari karetku. Aku akan mengikatkan diriku sendiri di sini. Menunggu kemustahilan bahwa kau akan kembali terikat bersamaku.
Jumat, 10 Oktober 2014
Mawar
Aku pernah terluka,
saat duri mawar menggores jemariku.
Aku pernah menangis,
saat mawar itu beranjak layu.
Aku pernah tersenyum,
saat mawar itu berbunga.
Aku selalu bahagia,
karena mawar itu menumbuhkan cinta yang tak mati.
Mawar itu adalah kau.
saat duri mawar menggores jemariku.
Aku pernah menangis,
saat mawar itu beranjak layu.
Aku pernah tersenyum,
saat mawar itu berbunga.
Aku selalu bahagia,
karena mawar itu menumbuhkan cinta yang tak mati.
Mawar itu adalah kau.
Selasa, 07 Oktober 2014
Untitled 1
Berubahlah!
Bagaimana mengukur berat dengan penggaris?
Bagaimana mengukur suhu dengan penggaris?
Setiap hal punya alat ukurnya sendiri
Jangan disamakan!
Bagaimana mengukur berat dengan penggaris?
Bagaimana mengukur suhu dengan penggaris?
Setiap hal punya alat ukurnya sendiri
Jangan disamakan!
Kamis, 02 Oktober 2014
Permata
Dia si batu mulia, orang memanggilnya intan. Aku sendiri memanggilnya cinta, atau lebih tepat cinta tak terungkap.
Dia, batu itu. Tak pernah berbicara, dia selalu dingin walau sudah kuhangatkan dengan berjuta rayu manja.
Tapi itulah yang membuatku terikat, dia anggun dengan jalannya. Dia, intan itu, ingin kucuri. Tapi mencuri intan tak semudah membalik telapak tangan, terlalu banyak pengaman yang harus terlewati.
Atau mungkin aku akan diam, seperti pemancing melempar umpan dan biarkan ikan datang sendiri. Atau mungkin juga aku memang harus pergi, agar kau bisa merasakan hilangnya hadirku.
Dengan begitu semoga kau memikirkanku.
Dia, batu itu. Tak pernah berbicara, dia selalu dingin walau sudah kuhangatkan dengan berjuta rayu manja.
Tapi itulah yang membuatku terikat, dia anggun dengan jalannya. Dia, intan itu, ingin kucuri. Tapi mencuri intan tak semudah membalik telapak tangan, terlalu banyak pengaman yang harus terlewati.
Atau mungkin aku akan diam, seperti pemancing melempar umpan dan biarkan ikan datang sendiri. Atau mungkin juga aku memang harus pergi, agar kau bisa merasakan hilangnya hadirku.
Dengan begitu semoga kau memikirkanku.
Selasa, 30 September 2014
Tentang Pintu
Sampai kapan kau mau menanti di depan pintu yang terkunci?
Mungkin orang yang kau nanti itu sudah mati dan tak akan mungkin datang menghampiri.
Mengapa kau tak coba pergi mencari pintu lain yang terbuka, lalu masuk jika diijinkan.
Jika tidak boleh masuk, setidaknya kau sudah menyapa.
Awal yang baik bukan?
Mungkin orang yang kau nanti itu sudah mati dan tak akan mungkin datang menghampiri.
Mengapa kau tak coba pergi mencari pintu lain yang terbuka, lalu masuk jika diijinkan.
Jika tidak boleh masuk, setidaknya kau sudah menyapa.
Awal yang baik bukan?
Kamis, 04 September 2014
A Story From The Past
Aku ingat saat pertama melihatmu. Kau terduduk di suatu sudut di rumah sakit, sambil menahan darah yang keluar dari dada kirimu. Aku tahu kau tak ingin mati karena kehabisan darah.
Tapi keputusanmu itu salah. Kau tak seharusnya menyimpan darah kotor yang sudah seharusnya dibuang. Kau membutuhkan darah yang baru jika kau ingin terus hidup.
Lalu aku melangkah mendekatimu, menyapamu, berkenalan denganmu. Cara menjawabmu selalu sama, canggung sambil menahan sakit. Aku tak tega.
Hingga aku menawarimu untuk menerima darah dariku, dari tubuhku, agar kau tak mati. Mulutmu menolak, tapi aku tahu kesakitanmu berkata lain.
Aku membawamu masuk ke sebuah ruangan yang disebut ruang operasi. Semua ini atas dasar ketidaksukaanku pada gadis yang menangis.
Aku mengulurkan tangan kananku. Kau menyambut dengan tangan kananmu sembari tangan kirimu terus menutupi lukamu.
Kita berjalan bersama melewati pintu dan masuk ke ruang operasi. Lalu setelahnya aku lupa. Yang aku ingat saat itu hanya kau berkata "terima kasih," dan "operasinya berhasil,".
Kini ku lihat kau berada di sampingku, menemaniku dalam setiap tidurku, sebagai seseorang yang ku sebut isteri.
Kini, saat aku menulis ini, pagi sudah tiba. Kau datang membawa kopi dan bertanya alasanku mau menolongmu dulu. Aku hanya menjawab, "aku tak senang melihat wanita menangis, terkhusus dirimu," jawabku sambil mengusap pipimu.
Dan aku tak henti - henti berharap dalam setiap percakapanku dengan Dia, kau juga bisa dan mau melakukan hal sama.
Tapi keputusanmu itu salah. Kau tak seharusnya menyimpan darah kotor yang sudah seharusnya dibuang. Kau membutuhkan darah yang baru jika kau ingin terus hidup.
Lalu aku melangkah mendekatimu, menyapamu, berkenalan denganmu. Cara menjawabmu selalu sama, canggung sambil menahan sakit. Aku tak tega.
Hingga aku menawarimu untuk menerima darah dariku, dari tubuhku, agar kau tak mati. Mulutmu menolak, tapi aku tahu kesakitanmu berkata lain.
Aku membawamu masuk ke sebuah ruangan yang disebut ruang operasi. Semua ini atas dasar ketidaksukaanku pada gadis yang menangis.
Aku mengulurkan tangan kananku. Kau menyambut dengan tangan kananmu sembari tangan kirimu terus menutupi lukamu.
Kita berjalan bersama melewati pintu dan masuk ke ruang operasi. Lalu setelahnya aku lupa. Yang aku ingat saat itu hanya kau berkata "terima kasih," dan "operasinya berhasil,".
Kini ku lihat kau berada di sampingku, menemaniku dalam setiap tidurku, sebagai seseorang yang ku sebut isteri.
Kini, saat aku menulis ini, pagi sudah tiba. Kau datang membawa kopi dan bertanya alasanku mau menolongmu dulu. Aku hanya menjawab, "aku tak senang melihat wanita menangis, terkhusus dirimu," jawabku sambil mengusap pipimu.
Dan aku tak henti - henti berharap dalam setiap percakapanku dengan Dia, kau juga bisa dan mau melakukan hal sama.
Jumat, 22 Agustus 2014
Gilakah?
Kau menyuruhku masuk ke dalam
Tapi hatimu masih terkunci
Kau yang sudah gila
Atau aku yang sangat tuli,
Hingga mendengar kau salah bicara
Tapi hatimu masih terkunci
Kau yang sudah gila
Atau aku yang sangat tuli,
Hingga mendengar kau salah bicara
Kamis, 21 Agustus 2014
Kawan!
Kawan dengarlah!
Aku akan pergi.
Kau akan mencari tapi tak mendapati.
Kawan dengarlah!
Aku sudah mati.
Terbunuh ideologi, dan tak mungkin bangkit lagi.
Kawan lihatlah!
Aku menari.
Aku menari setelah pergi dan tak menyesali.
Kawan lihatlah!
Aku berlari.
Pergi menjauhi hari ini, menuju hari lanjut lain
Kawan pulanglah!
Jangan lagi menyesali.
Kita tak ada lagi.
Aku akan pergi.
Kau akan mencari tapi tak mendapati.
Kawan dengarlah!
Aku sudah mati.
Terbunuh ideologi, dan tak mungkin bangkit lagi.
Kawan lihatlah!
Aku menari.
Aku menari setelah pergi dan tak menyesali.
Kawan lihatlah!
Aku berlari.
Pergi menjauhi hari ini, menuju hari lanjut lain
Kawan pulanglah!
Jangan lagi menyesali.
Kita tak ada lagi.
Kamis, 14 Agustus 2014
Senja
Ketika jingga tiba
Ia membiasmu menjadi sama
Sama dengan senja
Kau merah rona menyala
Ketika senja beranjak hitam
Biasmu gelap menghitam
Kau kelam lalu menghilang
Bersama senja engkau terbang keabadian
Ketika langit mulai menghitam
Ia menghapus sisa biasmu sayang
Kini aku sendiri berdiam
Mengunggu terang maya datang
Ia membiasmu menjadi sama
Sama dengan senja
Kau merah rona menyala
Ketika senja beranjak hitam
Biasmu gelap menghitam
Kau kelam lalu menghilang
Bersama senja engkau terbang keabadian
Ketika langit mulai menghitam
Ia menghapus sisa biasmu sayang
Kini aku sendiri berdiam
Mengunggu terang maya datang
Rabu, 13 Agustus 2014
Duduklah
Bisakah kau duduk sebentar? Tenanglah
Ini ku beri kau kursi, ambilah
Jangan kau terus berkeliaran dalam kepalaku
Ini kepunyaanku, sopanlah sedikit
Ya, ini kunjungan pertamamu
Itu wajar, bisakah kita minum teh sejenak?
Lalu ku temani kau berputar
Kemarilah, duduklah, aku belum marah.
Ini ku beri kau kursi, ambilah
Jangan kau terus berkeliaran dalam kepalaku
Ini kepunyaanku, sopanlah sedikit
Ya, ini kunjungan pertamamu
Itu wajar, bisakah kita minum teh sejenak?
Lalu ku temani kau berputar
Kemarilah, duduklah, aku belum marah.
Selasa, 12 Agustus 2014
Mulut
Mulutmu terlalu pintar bicara,
Isimu membisu. Diam tak bernada.
Mulutmu terlalu banyak bicara.
Hanya tipu. Hanya luka kau cerita.
Milikmu hanya barang darah,
Emasmu tak kekuningan, tapi merah.
Seluruh kamu hanya kutuk si Muluk
Mereka tapuk. Kau terbatuk. Tertekuk.
Isimu membisu. Diam tak bernada.
Mulutmu terlalu banyak bicara.
Hanya tipu. Hanya luka kau cerita.
Milikmu hanya barang darah,
Emasmu tak kekuningan, tapi merah.
Seluruh kamu hanya kutuk si Muluk
Mereka tapuk. Kau terbatuk. Tertekuk.
Senin, 11 Agustus 2014
Telanjang
Mereka kumpulan orang telanjang
Satu persatu masuk keluar ruangan
Sumpah atas agama hanya formalitas awal
Mereka semua berseragam rapi, awalnya
Tapi setelahnya baju mereka masukan ke lemari
Dibuka lagi saat hari pesta
Tapi ah sudah, mereka orang atas
Pisau merekapun tajamnya ke bawah
Satu persatu masuk keluar ruangan
Sumpah atas agama hanya formalitas awal
Mereka semua berseragam rapi, awalnya
Tapi setelahnya baju mereka masukan ke lemari
Dibuka lagi saat hari pesta
Tapi ah sudah, mereka orang atas
Pisau merekapun tajamnya ke bawah
Kamis, 24 Juli 2014
Kemelut Bicara
Busuk sudah. Terlalu lama mati tak ingin di kubur
Masih terbayang di angan semua kamu
Bisu. Kaku semua membeku biru
Lebam bekas luka.
Basah. Bukan hujan bukan air mata
Merah menyala, mengalir dalam luka dan murka
Rindu, ia sudah tak bertuan, tuannya pergi duluan.
Sesal.. Sebal.. Sesal..
Masih terbayang di angan semua kamu
Bisu. Kaku semua membeku biru
Lebam bekas luka.
Basah. Bukan hujan bukan air mata
Merah menyala, mengalir dalam luka dan murka
Rindu, ia sudah tak bertuan, tuannya pergi duluan.
Sesal.. Sebal.. Sesal..
Kamis, 17 Juli 2014
Lalu
Entah berapa kali aku menoleh ke kiri
Memantau pipi kanan dari samping
Ini ketiga kalinya aku melakukan sama
Harap kau tahu, tapi aku membisu
Lalu aku menoleh ke kanan
Ada Kakek melakukan sama
Yang Dia lihat pergi
Ia menangis sesal sendiri
ah, Ternyata aku di depan kaca.
Memantau pipi kanan dari samping
Ini ketiga kalinya aku melakukan sama
Harap kau tahu, tapi aku membisu
Lalu aku menoleh ke kanan
Ada Kakek melakukan sama
Yang Dia lihat pergi
Ia menangis sesal sendiri
ah, Ternyata aku di depan kaca.
Rabu, 07 Mei 2014
Tentang Hujan
Bahkan terkadang bukan salah air yang jatuh dari langit dan membasasi bumi.
Tapi air bisa saja menyalahkan langit yang tak bisa menahannya bersama lebih lama, hingga menjatuhkannya ke bumi.
Atau awan bisa juga menyalahkan bumi karena gaya gravitasinya yang menarik semua benda jatuh padanya.
Bumi tak bisa menyalahkan siapapun, ia menjadi "penarik" itu bukanlah salah dirinya, tapi itu memang sudah hakikatnya.
Hubungan hujan, awan, dan bumi akan selalu seperti itu. Berputar. Berputar. Terus berputar.
Hingga tiba suatu masa mereka lenyap, dan kisah mereka dianggap hilang dan tak dipentingkan lagi.
Tapi air bisa saja menyalahkan langit yang tak bisa menahannya bersama lebih lama, hingga menjatuhkannya ke bumi.
Atau awan bisa juga menyalahkan bumi karena gaya gravitasinya yang menarik semua benda jatuh padanya.
Bumi tak bisa menyalahkan siapapun, ia menjadi "penarik" itu bukanlah salah dirinya, tapi itu memang sudah hakikatnya.
Hubungan hujan, awan, dan bumi akan selalu seperti itu. Berputar. Berputar. Terus berputar.
Hingga tiba suatu masa mereka lenyap, dan kisah mereka dianggap hilang dan tak dipentingkan lagi.
Selasa, 01 April 2014
Surat untuk mantan
Hai Maya, apa kabarmu? Kau pasti
baik tentunya, seperti kaktus yang dapat hidup jika perawatnya tepat.
Kau tahu, saat ini aku sedang
mengikuti lomba menulis surat untuk mantan.
Kebiasaan lama kita bukan? Kau
tahu maya, aku tak pernah menyesali pertemuan-percintaan-perpisahan kita. Dari situ aku belajar, bahwa aku tak bisa
merawat sebuah kaktus, tak bisa menyiram kaktus itu dengan air terlalu sering, atau ia akan
membusuk dan kemudian mati.
Maya, kini aku sudah bersama
“Mawar”, sebuah bunga yang tak terlalu susah untukku rawat. Kau tentunya tahu mengapa aku memilih mawar.
Ya, ia sama sepertimu, ia berduri. Duri yang mengajariku untuk tak
menggenggamnya terlalu erat, jika aku tak ingin berdarah. Aku pernah berdarah
olehmu. Tak apa. Sudah sembuh.
Kau tahu Maya, tak apa kita tak
bersama. Justru kini kau lebih baik bukan? Jujur itu pendapatku, setelah
melihat senyummu merekah lagi. Maya,
maya, maya, semua tentang kita sudah tak selayaknya dibuka lagi. Sudah berbau, seperti nasi yang sudah basi
tak selayaknya di buka lagi.
Maya, aku sadar, aku bukanlah
petani yang baik, lebih tepatnya bukan petani kaktus yang baik. Aku bahkan tak pernah
mencoba mencari tahu apa dan bagaimana cara merawat kaktus dengan bijak. Hingga
kaktus itu hampir mati membusuk. Tapi dari situ aku belajar Maya, bahwa setiap
bunga memilki cara penanganan yang berbeda – beda.
Aku masih ingat Maya, perjalanan
kita terlalu singat, tak padat, dan sangat tak jelas. Aku bahkan tak sempat
melihat kaktus itu berbunga saat musimnya. Jangan tanya aku apa kaktus memiliki
musim atau tidak, aku tak tahu hal itu. Dan itu juga membuatku bertanya apakah
semua bunga memerlukan musim untuk berbunga dan bermekaran? Kini tinggal
keputusanmu Maya, mau berbunga dan bermekaran atau tidak? Tentu aku tak akan
bisa membantumu, aku sudah tak punya kuasa di situ. Kau pun seharusnya bisa
melakukannya sendiri Maya.
Maya, kau tau, terkadang aku
masih merindukan saat-saat menyiramkan air pada kaktus itu. Iya, sebuah
perasaan yang masih sulit untuk kubuang.
Terimakasih Maya.
Tertanda,
Perawat bunga
Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth
Minggu, 02 Maret 2014
A Story With You
Pagi itu, aku masih terduduk basah dengan mata tertutup kain. Dengan lingkungan asing yang penuh daun kering.
Aku masih menikmati ksendirian, mencari kenyamanan dari hangatnya mentari. Menghangtkan pori-pori kulitku, agar tak menggigil lagi.
Lalu, seorang malaikat menghantarmu untuk duduk dengan punggungmu menempel dipunggungku.
Entah apa maksud malaikat itu? Tapi ia berhasil buatku canggung, sekaligus nyaman.
Kemudian malaikat itu pergi, meninggalkan kita berdua di tempat itu dengan mata tertutup kain.
Aku tak pernah sebahagia itu sebelumnya. Merasakan kau begitu dekat. Hangat. Merasakan jantung kita bergerak dalam satu nada. Seirama. Dua ketukan, dua ketukan dan berlanjut sama.
Bila aku tahu siapa malaikat itu, aku ingin mengatur lagi kejadian itu. Mengulangnya dengan pemain yang sama, dengan alur cerita yang sama. Hanya kali ini mereka tak menggunakan penutup mata, dan tidak saling memunggungi, berhadapan, berpelukan.
Bila ku tahu siapa malaikat itu.
Kenangan 7 Feberuari 2014.
Aku masih menikmati ksendirian, mencari kenyamanan dari hangatnya mentari. Menghangtkan pori-pori kulitku, agar tak menggigil lagi.
Lalu, seorang malaikat menghantarmu untuk duduk dengan punggungmu menempel dipunggungku.
Entah apa maksud malaikat itu? Tapi ia berhasil buatku canggung, sekaligus nyaman.
Kemudian malaikat itu pergi, meninggalkan kita berdua di tempat itu dengan mata tertutup kain.
Aku tak pernah sebahagia itu sebelumnya. Merasakan kau begitu dekat. Hangat. Merasakan jantung kita bergerak dalam satu nada. Seirama. Dua ketukan, dua ketukan dan berlanjut sama.
Bila aku tahu siapa malaikat itu, aku ingin mengatur lagi kejadian itu. Mengulangnya dengan pemain yang sama, dengan alur cerita yang sama. Hanya kali ini mereka tak menggunakan penutup mata, dan tidak saling memunggungi, berhadapan, berpelukan.
Bila ku tahu siapa malaikat itu.
Kenangan 7 Feberuari 2014.
Jumat, 28 Februari 2014
A Letter for a senior
Hai, apa kabar? Masih sibuk dengan menari? Atau mungkin sibuk dengan jurnal yang tak ballance?
Aku masih ingat setiap saat kita bertemu, aku menyapamu terlebih dulu dan kau membalas sapaanku, atau sebaliknya. Aku masih tak pernah lupa akan caramu mengucap salam, renyah dan terasa manis di telingaku.
Tapi perlu kau tahu, aku merindukan percakapan kita lebih dari hanya sekedar sapa dan menyapa. Lebih dari sekedar hukum timbal balik yang sudah sangat biasa itu. Lebih dalam, semakin dalam, hingga kita sama-sama tenggelam.
Mungkin kita bisa bertukar pikiran, bertukar mengenai konsep-konsep ekonomi yang masih tak ku mengerti. Mengapa hukum gossyen tidak berlaku untuk semua barang? Tapi bukan itu yang ingin sangat ku ketahui, tap kau yang ingin sangat ku ketahui.
Mungkin juga aku bisa mendengarmu bercerita. Mungkin kau mau bercerita tentang pengalamanmu dulu saat kau menjadi penari, atau mugnkin bercerita tentang perasaanmu saat menemui jurnal yang tak ballance hahha. Aku sedang berlatih menjadi pendengar yang baik. Pemimpin itu pendengar yang baik bukan? Mungkin kau bisa menjelaskannya padaku suatu saat.
Ya, aku masih menunggu saat itu. Aku tak perlu menyebutkan saat apa itu. Kau pasti tahu. Kita.
Tertanda,
Adik Angkatanmu
Aku masih ingat setiap saat kita bertemu, aku menyapamu terlebih dulu dan kau membalas sapaanku, atau sebaliknya. Aku masih tak pernah lupa akan caramu mengucap salam, renyah dan terasa manis di telingaku.
Tapi perlu kau tahu, aku merindukan percakapan kita lebih dari hanya sekedar sapa dan menyapa. Lebih dari sekedar hukum timbal balik yang sudah sangat biasa itu. Lebih dalam, semakin dalam, hingga kita sama-sama tenggelam.
Mungkin kita bisa bertukar pikiran, bertukar mengenai konsep-konsep ekonomi yang masih tak ku mengerti. Mengapa hukum gossyen tidak berlaku untuk semua barang? Tapi bukan itu yang ingin sangat ku ketahui, tap kau yang ingin sangat ku ketahui.
Mungkin juga aku bisa mendengarmu bercerita. Mungkin kau mau bercerita tentang pengalamanmu dulu saat kau menjadi penari, atau mugnkin bercerita tentang perasaanmu saat menemui jurnal yang tak ballance hahha. Aku sedang berlatih menjadi pendengar yang baik. Pemimpin itu pendengar yang baik bukan? Mungkin kau bisa menjelaskannya padaku suatu saat.
Ya, aku masih menunggu saat itu. Aku tak perlu menyebutkan saat apa itu. Kau pasti tahu. Kita.
Tertanda,
Adik Angkatanmu
Salatiga, di atas kasur
27 Februari 2014, pk 10.15 malam.
A Letter for You
Mungkin saat kau membaca surat ini aku sedang menidurkan logikaku, membiarkan hatiku bekerja menulis surat lain untukmu. Mungkin juga tidak.
Kau tahu, aku sangat menginginkanmu. Atau bahkan mungkin kau baru tahu saat ini, saat membaca surat ini. Jika memang benar, setidaknya kau sudah tahu kan sekarang?
Kau seorang gadis yang tak pernah termasuk dalam kriteria yang kusuka. Akupun heran, aku bisa menyalahi hukumku sendiri.
Mungkin itu salahku, aku tak pernah memasukkan kata nyaman sebagai kriteria wanita idamanku. Mungkin juga salahmu, tapi aku tetap tak bisa memberimu alasan mengapa aku menyalahkanmu.
Karena aku tak mungkin bisa menyalahkanmu atas dasar kau membuatku mencintaimu karena kau membuatku nyaman.
Oiya aku lupa menanyakan kabarmu? Kau sehat kan? Jujur, aku belakangan ini kehilangan kontrol akan otakku yang terus mengkhawatirkanmu.
Maafkan aku jika ini terlalu panjang. Tenang, surat pertama ini ku akhiri di sini. Terimakasih sudah hadir dan menyamankanku.
Kau tahu, aku sangat menginginkanmu. Atau bahkan mungkin kau baru tahu saat ini, saat membaca surat ini. Jika memang benar, setidaknya kau sudah tahu kan sekarang?
Kau seorang gadis yang tak pernah termasuk dalam kriteria yang kusuka. Akupun heran, aku bisa menyalahi hukumku sendiri.
Mungkin itu salahku, aku tak pernah memasukkan kata nyaman sebagai kriteria wanita idamanku. Mungkin juga salahmu, tapi aku tetap tak bisa memberimu alasan mengapa aku menyalahkanmu.
Karena aku tak mungkin bisa menyalahkanmu atas dasar kau membuatku mencintaimu karena kau membuatku nyaman.
Oiya aku lupa menanyakan kabarmu? Kau sehat kan? Jujur, aku belakangan ini kehilangan kontrol akan otakku yang terus mengkhawatirkanmu.
Maafkan aku jika ini terlalu panjang. Tenang, surat pertama ini ku akhiri di sini. Terimakasih sudah hadir dan menyamankanku.
Tertanda,
Seorang yang merindukanmu.
Salatiga, di atas kasur
27 Februari 2014, pk 10 malam.
Langganan:
Postingan (Atom)