Selasa, 30 September 2014

Tentang Pintu

Sampai kapan kau mau menanti di depan pintu yang terkunci?
Mungkin orang yang kau nanti itu sudah mati dan tak akan mungkin datang menghampiri.
Mengapa kau tak coba pergi mencari pintu lain yang terbuka, lalu masuk jika diijinkan.
Jika tidak boleh masuk, setidaknya kau sudah menyapa.
Awal yang baik bukan?

Kamis, 04 September 2014

A Story From The Past

Aku ingat saat pertama melihatmu. Kau terduduk di suatu sudut di rumah sakit, sambil menahan darah yang keluar dari dada kirimu. Aku tahu kau tak ingin mati karena kehabisan darah.

Tapi keputusanmu itu salah. Kau tak seharusnya menyimpan darah kotor yang sudah seharusnya dibuang. Kau membutuhkan darah yang baru jika kau ingin terus hidup.

Lalu aku melangkah mendekatimu, menyapamu, berkenalan denganmu. Cara menjawabmu selalu sama, canggung sambil menahan sakit. Aku tak tega.

Hingga aku menawarimu untuk menerima darah dariku, dari tubuhku, agar kau tak mati. Mulutmu menolak, tapi aku tahu kesakitanmu berkata lain.

Aku membawamu masuk ke sebuah ruangan yang disebut ruang operasi. Semua ini atas dasar ketidaksukaanku pada gadis yang menangis.

Aku mengulurkan tangan kananku. Kau menyambut dengan tangan kananmu sembari tangan kirimu terus menutupi lukamu.

Kita berjalan bersama melewati pintu dan masuk ke ruang operasi. Lalu setelahnya aku lupa. Yang aku ingat saat itu hanya kau berkata "terima kasih," dan "operasinya berhasil,".

Kini ku lihat kau berada di sampingku, menemaniku dalam setiap tidurku, sebagai seseorang yang ku sebut isteri.

Kini, saat aku menulis ini, pagi sudah tiba. Kau datang membawa kopi dan bertanya alasanku mau menolongmu dulu. Aku hanya menjawab, "aku tak senang melihat wanita menangis, terkhusus dirimu," jawabku sambil mengusap pipimu.

Dan aku tak henti - henti berharap dalam setiap percakapanku dengan Dia, kau juga bisa dan mau melakukan hal sama.